Thursday, September 2, 2010

Workshop ‘Return Home’, sebuah cara mengatasi masa-masa transisi budaya



Bismillahirrahmanirrahim, hari pertama di bulan September, AusAID mengundang para penerima beasiswanya untuk mengikuti workshop yang paling ditunggu-tunggu kami semua. Workshop yang difasilitasi Dr Anna Alderson, awalnya diadakan oleh Dr Chris Hogan dari HRD Dept, seorang konsultan pendidikan.

Begitu masuk kelas, kami disambut ramah oleh Anna, yang mengucapkan terima kasih karena telah menyempatkan diri untuk datang walaupun sedang sibuk sekali. Bagiku pribadi, tiap workshop yang diadakan AusAID sebagai penyandang dana harus selalu diikuti, karena pasti sudah dirancang sebaik-baiknya bagi tiap penerima beasiswa untuk memperlancar masa transisi di luar negeri. Kalau diingat, Anna dulu pernah menjadi fasilitator kami di wokshop ‘Culture Shock’, saat pertama kali menginjakkan bumi Australia. Berkat workshop semacam itu, aku lebih cepat beradaptasi dan kemungkinan untuk mengalami ‘culture shock’ kedua kali sangat minim.

Workshop semacam ini lebih sering menginginkan partisipasi aktif peserta. Kami selalu diberikan ‘butcher paper’, atau kertas poster tipis lengkap dengan bermacam-macam spidol dan pensil berwarna untuk menggambar ide hasil diskusi. Untuk tiap kasus, peserta akan berdiskusi dengan kelompok terlebih dahulu, sebelum menuangkan hasil diskusi dalam bentuk diagram maupun mind map yang menarik. Kemudian peserta diundang untuk mempresentasikan hasil diskusi, tiap kelompok yang memiliki ide lain atau berbeda, akan menambahkan ide-ide yang sama dari penyaji. Dengan demikian, semua akan saling membandingkan, mengambil poin yang dirasa sesuai, tidak merasa benar sendiri karena tiap orang datang dari tempat berbeda dan seharusnya saling melengkapi hasil diskusi. Anna akan memberikan kesimpulan atau ‘take home message’ dengan menarik dan mudah diingat.

Beberapa hal yang bisa kuringkas dari workshop tersebut adalah:
a) Ada tipe-tipe cara merespon ‘return culture shock’, yaitu:
a. Proactive returnees = accept return and try to benefit from it
b. Alienated returnees = refuse to accept return
c. Resocialised returnees = accept it, but just ‘put up’ with return
d. Returnees who feel guilty = suffer mild to long term depression
e. Leaving returnees = work to leave your own country as soon as possible

b) Menurut pemahamanku, jika awalnya kita tidak mengalami ‘culture shock’, maka kita tidak akan mengalami ‘return culture shock’. Saat bertransisi tinggal pertama kali di negeri orang, jika kita tidak berusaha melupakan budaya, tetap menjaga kepribadian kita yang baik-baik, lebih menerima kalau semua ini bersifat sementara dan masa tinggal di negeri orang adalah sebuah ‘undangan’ dari Allah untuk meningkatkan kualitas dan keimanan kita, maka kita tidak perlu kuatir dengan transisi saat kepulangan nanti. Bersikap lebih fleksibel atau ‘resilient’ dalam menerima sebuah perubahan, akan membantu kita menghadapi masa-masa sulit transisi hidup kita.

c) Ada sebuah diagram berbentuk huruf W, bertajuk ‘The hero/heroines journey and studying overseas’ yang kuperoleh dari workshop, tetapi tampaknya tidak bisa kuberikan karena masalah copyright. Bentuknya seperti gambar ilustrasi tulisan ini. Intinya diagram tersebut menggambarkan proses naik-turun dalam perjalanan kita bersekolah di luar negeri. Tiap perubahan posisi titik, menggambarkan tahap-tahap apa yang normal kita alami. Seperti seorang hero/heroine dalam film petualangan, kita akan menghadapi masa-masa bahagia dan penuh kesulitan saat melaksanakan sebuah petualangan. Jika kita mengetahui lebih dahulu secara kasar apa yang biasanya dialami orang lain, maka kita selain dapat mengantisipasinya, kita juga tidak putus asa karena orang lain mengalami hal serupa. Berhubung aku dalam tahap V yang pertama, agak naik ke puncaknya, maka aku berusaha untuk mengantisipasi bagian V kedua dari huruf W, yaitu masa transisi kepulangan nanti. Jika berminat, just let me know, ok, nanti aku scan-kan.

d) Menjadi ‘cultural translator = penerjemah budaya’ dan ‘international person = manusia internasional’ adalah peran-peran berikut yang bisa kita lakukan. Pernah tinggal di luar negeri, memiliki kepedulian terhadap budaya kita sendiri, memahami perbedaan tiap budaya, kemampuan untuk berempati dengan orang dari budaya berbeda, punya beberapa persahabatan jangka panjang dengan beberapa orang dari budaya berbeda, ingin selalu belajar, anggota salah satu organisasi internasional adalah hal-hal yang harus dimiliki seseorang berjiwa internasional dan penerjemah budaya. Penerjemah budaya, bertugas mengamati perbedaan budaya dan membantu orang lain untuk memahami satu sama lain dengan lebih baik. Sedangkan manusia internasional, harus pernah tinggal, belajar dan bekerja di luar negeri, memiliki cara untuk menjaga dan memanfaatkan pengalaman internasional dalam kehidupan dan masyarakat sekitarnya.

e) Di akhir workshop, kita diajak untuk membuat perencanaan masa depan setelah kita pulang kembali. Untuk hal ini, aku sudah membuatnya di tahun pertama mulai riset dahulu. Mungkin aku harus revisi kembali, karena terlalu ‘unachievable’. Sungguh menarik, karena ada seorang peserta yang begitu ‘strict’ menata jalan hidupnya, persis dengan pengalamanku lima tahun lalu. Setelah 3.5 tahun menempuh perjalanan ‘heroik’ ku di Australia, aku, Insya Allah telah berusaha menjadi seseorang yang lebih rileks dan fleksibel. Aku telah melihat dan menghadapi beberapa orang yang sangat ambisius terhadap karir dan memiliki keinginan muluk, seperti ‘terkenal dengan menjadi satu-satunya peneliti di bidang XYZ, atau dikenal dunia sebagai penemu/pencipta alat XYZ, etc’. Saat itulah, aku merasa bahwa sebaiknya 'kesuksesan itu bukan dicari, tetapi mengikuti'. Kuyakin begitu pulang nanti, hal pertama yang kuinginkan adalah berlibur, menata hati dan diri, baru bersiap mengambil langkah kecil pertama untuk kembali berkarir. Bukan ‘alon-alon asal kelakon’, tetapi sesuatu yang kusukai, konsisten dan prosesnya lebih kunikmati.

f) Beberapa kiat yang kita diskusikan sebagai panduan untuk teman-teman yang akan pulang kembali:
a. Sebaiknya kita menjalin hubungan kembali dengan teman, keluarga, kolega untuk mengetahui situasi terkini
b. Belajar lebih fleksibel menerima keadaan karena bukan hanya kita saja yang berubah
c. Jika ingin membuat suatu perubahan maka kita perlu trik, seperti tidak tergesa-gesa, lakukan hal-hal kecil dengan konsisten, serta memiliki sekelompok orang yang mendukung kita atau mau bekerjasama mendukung ide kita
d. Jangan putus asa jika maksud tak sampai, tetap berusaha dan lakukan dengan cara yang lain, hingga kita diterima
e. Banyak berbagi pengalaman dan pemahaman baik selama di luar negeri dengan lebih arif dan menghormati budaya lokal
f. Lebih proaktif dan tidak melulu reaktif dengan keadaan yang kita temui di rumah atau tempat kerja.

Di akhir workshop selain sibuk berfoto, kami juga sibuk saling bertukar alamat dengan teman-teman dari negara lain.
Setelah itu, berakhirlah sebuah workshop pengantar masa transisi yang Insya Allah akan membantu kami semua dalam masa transisi ke depan. Selama beberapa bulan ke depan, Insya Allah, adalah saat-saat untuk ‘wrap up’ dan setelah itu, Insya Allah berakhirlah babak perjalanan heroikku, mudah-mudahan barokah, ya Allah.

Perth,
Sekedar berbagi... Insya Allah bermanfaat.